Tambang Nikel Untung Triliunan, Upah Buruh di Maluku Utara Cuma Naik 2 Persen

Editor: Narasika.id author photo


Maluku Utara — Narasika.id | Di tengah ledakan industri nikel yang menghasilkan keuntungan triliunan rupiah setiap tahun, buruh tambang di Maluku Utara justru hanya menerima kenaikan upah minimum sektoral sebesar 2 persen pada 2026. Kebijakan ini dinilai tidak adil dan bertentangan dengan semangat konstitusi serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan Keputusan Gubernur Maluku Utara tentang Upah Minimum 2026, upah minimum sektoral pertambangan nikel ditetapkan sekitar Rp3,72 juta, sementara sektor pertambangan emas Rp4,47 juta. Kenaikan tersebut jauh di bawah ekspektasi buruh, mengingat sektor pertambangan menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Maluku Utara.

Data menunjukkan, Maluku Utara memiliki lebih dari 100 Izin Usaha Pertambangan (IUP), mayoritas untuk komoditas nikel. Produksi nikel mencapai jutaan ton per tahun, dengan nilai ekspor miliaran dolar AS. Sejumlah perusahaan tambang besar bahkan membukukan pendapatan di atas Rp20 triliun per tahun. Namun besarnya keuntungan itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan buruh dan masyarakat lingkar tambang.

“Ini ironi yang sangat nyata. Nikel Maluku Utara mengalir ke pasar global dan menghasilkan keuntungan besar, tapi buruh hanya diberi kenaikan upah 2 persen. Ini bukan keadilan, ini pengabaian,” kata Muhlis Ibrahim, pemerhati kebijakan publik Maluku Utara.

Muhlis menegaskan, kebijakan pengupahan tersebut seharusnya merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015, yang menegaskan bahwa upah minimum adalah jaring pengaman sosial dan negara wajib menjamin upah yang layak bagi pekerja dan keluarganya. MK juga menegaskan bahwa kebijakan pengupahan tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan investasi, tetapi harus berpihak pada keadilan sosial.

Namun dalam praktiknya, pemerintah daerah dinilai terlalu patuh pada skema Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, yang menitikberatkan penyesuaian upah pada formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Penerapan PP tersebut secara kaku dinilai berpotensi mengabaikan mandat konstitusi sebagaimana ditegaskan MK.

“PP Pengupahan tidak boleh dijadikan tameng untuk menekan upah buruh. Putusan MK itu final dan mengikat. Pemerintah daerah seharusnya berani berpihak pada buruh, apalagi di sektor tambang yang untungnya sangat besar,” ujar Muhlis.

Selain persoalan upah, banyaknya IUP juga dinilai belum sepenuhnya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dari ratusan izin yang diterbitkan, hanya sebagian perusahaan yang aktif beroperasi, sementara dampak lingkungan, pencemaran, dan konflik lahan terus dirasakan warga sekitar tambang.

Kondisi ini memicu desakan agar pemerintah pusat dan daerah mengevaluasi kebijakan upah minimum sektoral pertambangan, menyesuaikannya dengan keuntungan riil perusahaan, tingkat risiko kerja, serta amanat putusan MK. Tanpa koreksi kebijakan, booming nikel dikhawatirkan hanya akan memperkaya korporasi, sementara buruh dan masyarakat Maluku Utara tetap tertinggal.

Putusan MK telah memberi rambu yang jelas. Pemerintah diminta tidak abai terhadap buruh dan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara, agar kekayaan nikel benar-benar menjadi berkah bagi rakyat, bukan hanya bagi segelintir pemodal.(Red)


Share:
Komentar

Berita Terkini