Putusan MK Jadi Dasar, Pemda Malut Didesak Batalkan UMP 2026

Editor: Narasika.id author photo

 


Ternate – Narasika.id | Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku Utara tahun 2026 kembali menuai sorotan tajam. Kali ini, Pemerintah Daerah (Pemda) Maluku Utara dan Dewan Pengupahan didesak membatalkan atau meninjau ulang keputusan UMP 2026 karena dinilai tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta prinsip perlindungan hak buruh.

UMP Maluku Utara 2026 ditetapkan sebesar Rp3.552.840, naik 4,25 persen dari tahun sebelumnya. Namun, kenaikan tersebut dinilai belum mencerminkan hak atas penghidupan layak sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan ditegaskan kembali melalui Putusan MK terkait pengupahan, yang menempatkan upah minimum sebagai instrumen perlindungan hak konstitusional buruh, bukan sekadar kebijakan ekonomi.

Muhlis Ibrahim, pemerhati ketenagakerjaan Maluku Utara, menegaskan bahwa pasca putusan MK, negara—termasuk pemerintah daerah—tidak memiliki ruang untuk menetapkan kebijakan upah yang menjauh dari prinsip keadilan dan perlindungan pekerja. “Putusan MK menegaskan bahwa buruh adalah subjek hak. Karena itu, Pemda dan Dewan Pengupahan wajib tunduk pada semangat putusan MK, bukan justru menafsirkan kebijakan upah secara sempit,” ujar Muhlis.

Ia merujuk pada Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak atas pekerjaan serta imbalan yang adil dan layak. Menurutnya, mandat konstitusi tersebut diperkuat dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, yang diterbitkan sebagai tindak lanjut putusan MK dan menekankan bahwa penetapan upah minimum harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup layak buruh.

“Jika Pemda tetap mempertahankan UMP yang tidak mencerminkan prinsip tersebut, maka kebijakan itu patut dipertanyakan secara konstitusional. Pembatalan atau koreksi kebijakan justru menjadi kewajiban hukum, bukan pilihan politik,” tegasnya.

Muhlis juga mengkritik alasan Dewan Pengupahan yang menyebut kekhawatiran terhadap beban dunia usaha dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurutnya, dalih tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum tanpa data terbuka dan analisis sektoral yang transparan. “Putusan MK secara tegas menolak logika yang menjadikan buruh sebagai korban stabilitas usaha,” katanya.

Sorotan lain diarahkan pada upah sektoral pertambangan yang hanya naik dua persen, padahal sektor tersebut merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi Maluku Utara. Kondisi ini dinilai memperkuat kesan bahwa kebijakan pengupahan masih berpihak pada kepentingan modal dan mengabaikan prinsip keadilan sosial sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

Menurut Muhlis, jika Pemda dan Dewan Pengupahan tetap bersikukuh mempertahankan kebijakan UMP 2026, risiko sosial tidak bisa dihindari. Buruh akan terus berada dalam kondisi pekerja miskin (working poor), daya beli stagnan, dan potensi konflik hubungan industrial meningkat.

“Oleh karena itu, Pemda Maluku Utara harus berani membuka ulang pembahasan dan membatalkan penetapan UMP 2026 yang tidak sejalan dengan putusan MK, UUD 1945, dan PP 49/2025. Negara harus hadir melindungi buruh, bukan sekadar menjaga kenyamanan pasar,” pungkasnya.(Red)

Share:
Komentar

Berita Terkini